Gerakan tangan terus menari di atas keyboard, sedangkan otak sudah sejak tadi kehilangan radar inspirasinya. Ada chaos yang terjadi ketika ada begitu banyak hal yang hadir tak sesuai dengan ekspektasi. Gejolak emosi, perasaan gundah, dan segumpal kesah. Dan semua itu bersumber dari satu perkara : dosen pembimbing yang tak kunjung memberi kabar.
Terhitung dua hari sudah sejak pertama kali kuhubungi. Dan menghitung tiga hari lagi sebelum deadline pengumpulan proposal. Tepatnya satu hari jika mengabaikan hari libur. Dan masih belum ada kabar yang memastikan bahwa proposal skripsi yang ku ajukan benar-benar layak. Aku tak punya gambaran apa pun, hanya mampu mengenggam angin di tengah belantara kebingungan.
Sejak tadi masih sama. Tak ada pesan Whatsapp, tak ada SMS, apalagi telepon. Dan sejak tadi juga masih sama. Gelisah, gulana, galau. Angan hanya mampu menerka-nerka, sedang apakah gerangan beliau di sana. Apakah proposal skripsiku pernah terlintas barang sejenak di pikirannya? Atau hanya dilihatnya sambil lalu seraya menyesap secangkir kopi.
Aku mengerti dia sibuk. Dan aku juga mengerti dia berhak untuk bersikap seperti ini. Tapi tetap saja aku terus bertanya-tanya dan merasa resah. Sindrome skripsi sepertinya sudah masuk tahap infeksi.